oleh: Ferdy Surya Chandya
Profesionalitas lembaga pengawas pemilu sekali lagi dipertanyakan. Dalam sebuah pengungkapan mengejutkan yang mengguncang fondasi demokrasi lokal, praktik nepotisme sistematis terungkap di tubuh Bawaslu Kecamatan Kota Baru, Jambi, mengekspos celah koruptif yang mengancam kredibilitas institusi pengawas pemilu.
Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi, dengan latar belakang pengalaman sebagai pengawas pada pemilu sebelumnya, berhasil menjadi whistleblower yang membongkar deretan pelanggaran dan penyimpangan yang selama ini disembunyikan oleh oknum aparatur. Investigasi mendalam membuka tabir praktik nepotisme yang telah mengakar, diawali dengan proses seleksi Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) yang sama sekali tidak transparan.
Bukti konkret menunjukkan praktik kecurangan yang mencengangkan. Seorang calon yang notabene adalah adik ipar ketua Bawaslu Kecamatan berhasil lolos seleksi, bersama sejumlah kolega terdekatnya, mengalahkan kandidat berpengalaman dengan rekam jejak pengawasan pemilu yang cemerlang. Praktik curang ini bukan sekadar kebetulan, melainkan strategi sistematis untuk mengedepankan kepentingan keluarga dan jaringan personal di atas profesionalisme.
Lebih mencengangkan lagi, dokumen internal yang berhasil ditelusuri menunjukkan manipulasi bukti dan pengaburan informasi yang dilakukan secara terencana. Bawaslu Kecamatan sengaja menghambat mekanisme pengaduan masyarakat dengan cara tidak membuka form tanggapan publik – sebuah pelanggaran fatal terhadap prosedur resmi yang berlaku. Staf Bawaslu bahkan tidak segan BERBOHONG! Staf Bawaslu yang tanpa rasa malu mengklaim habisnya formulir pengaduan, padahal buku tamu MEMBONGKAR kebohongan mereka – tidak ada seorang pun yang bertamu sejak 18 Oktober. Ini bukan sekadar manipulasi, ini adalah PEMERKOSAAN SISTEMATIS terhadap hak-hak warga negara! – sebuah upaya nyata untuk menutupi potensi protes dan menciptakan ilusi kerja yang “bersih” melalui pengabaian hak masyarakat.
Laporan bergulir dari tingkat kecamatan hingga provinsi, dengan Bawaslu Kota akhirnya mengakui penyimpangan dalam rekrutmen. Namun, tindakan korektif hanya berupa sanksi etik yang tidak transparan, yang dianggap tidak memadai oleh pihak yang dirugikan. Sanksi etik yang diberikan tanpa kejelasan substansi memperlihatkan pola sistematis untuk mengaburkan kesalahan.
“Inilah pembusukan sistematis yang menggerogoti jantung demokrasi! Bawaslu Kecamatan Kota Baru bukan sekadar gagal, mereka adalah PENGKHIANAT sesungguhnya dari prinsip-prinsip demokratis. Praktik kotor mereka bukanlah sekadar kesalahan, melainkan KUDETA HALUS yang dilakukan dengan senyum dan dokumen resmi.” tegas sang mahasiswa whistleblower, mengungkap realitas pahit praktik tidak profesional tersebut. Upaya menutupi kecurangan berlanjut hingga tingkat koordinasi yang lebih tinggi, dengan sanksi etik yang nyaris tak bermakna – sebuah bukti nyata lemahnya mekanisme pengawasan internal. Hal ini semakin mempertegas dugaan adanya jaringan yang melindungi praktik nepotisme dalam institusi.
Kisah ini lebih dari sekadar persoalan individual, melainkan mencerminkan krisis sistemik yang menggerogoti institusi demokrasi. Ketika lembaga yang seharusnya menjaga integritas pemilu justru menjadi aktor utama dalam merongrong kepercayaan publik, maka demokrasi kita berada dalam bahaya nyata. Praktik nepotisme seperti ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga mengkhianati spirit demokrasi yang kita perjuangkan.
Para pemangku kepentingan kini mendesak dilakukannya investigasi menyeluruh, pembukaan akses informasi publik, dan penjaminan mekanisme rekrutmen berbasis merit. Sampai artikel ini terbit, pihak Bawaslu Kecamatan Kota Baru belum memberikan klarifikasi resmi yang komprehensif – keheningan yang semakin menambah keraguan publik.
Pertanyaan kunci yang tersisa adalah: berapa banyak lagi praktik kotor yang tersembunyi di balik tirai birokrasi yang selama ini kita anggap bersih? Bukankah sudah saatnya kita menuntut transparansi total dari setiap institusi yang mengaku mengabdi untuk kepentingan rakyat? Bawaslu, institusi yang diberi mandat untuk menjaga marwah demokrasi, justru tampil sebagai aktor utama dalam menurunkan kredibilitas sistem pemilihan umum.
Kebenaran tidak bisa dibungkam, apalagi diancam.
Artikel ini bukan sekadar pengungkapan skandal, melainkan seruan keras untuk transformasi total sistem pengawasan pemilu. Demokrasi sejati tidak boleh dipenjara oleh praktik nepotisme dan korupsi sistematis yang menggerogoti institusi publik.
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan investigasi personal oleh Ferdy Surya Chandya seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi yang bertekad mengungkap kebenaran di balik praktik curang Bawaslu Kecamatan Kota Baru.
Discussion about this post